Dampak Subsidi KRL Jadi Berbasis NIK, Bikin Kantong Pekerja Makin Boncos?

6 days ago 9
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Pemerintah mau mengubah skema subsidi layanan KRL Jabodetabek menjadi berbasis NIK. Namun hal ini masih dalam tahap pembahasan oleh Kementerian/Lembaga terkait. Apa dampak dari perubahan model subsidi KRL menjadi berbasis NIK?

Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno berpendapat jika ketetapan subsidi KRL berbasis NIK ini berlaku, maka pemerintah berpotensi menghemat hampir satu per tiga anggaran yang digunakan untuk pemberian subsidi saat ini.

Menurutnya, sisa anggaran yang berhasil dihemat tadi bisa digunakan pemerintah untuk keperluan lain. Misalkan untuk membangun infrastruktur transportasi di wilayah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) atau membuat integrasi transportasi di berbagai daerah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini kan yang disubsidi itu seharusnya orang yang commuter lah, yang bepergian untuk bekerja. Tapi kalau Sabtu-Minggu kan banyak orang yang (naik KRL untuk) wisata, jalan-jalan, ngapain kasih subsidi besar-besar. Hasil surveinya waktu itu 2018, hari Sabtu orang yang masih kerja hanya 5%, lainnya orang jalan-jalan, kenapa tarifnya harus sama. Hari minggu cuma 2%" terang Djoko kepada detikcom, ditulis Jumat (13/9/2024).

"Artinya kalau (ada penyesuaian subsidi KRL) dihitung-hitung bisa ada penghematan sepertiga (dari anggaran yang dikeluarkan). Nah bagaimana uang sepertiga tadi itu digeser ke (pembangunan transportasi) kawasan perumahan. Atau sebagian diberikan ke daerah lain, daerah 3T itu penting juga, kita kan bicara Indonesia," ucapnya lagi.

Djoko berpandangan perubahan skema subsidi KRL nantinya tak akan memberatkan 'kantong' masyarakat, terutama pengguna layanan. Menurutnya, pemerintah akan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat untuk menetapkan tarif ke depannya. Sehingga ia merasa masyarakat tidak perlu khawatir.

"Saya kira nggak lah, makanya nanti ini kan dikaji lagi kira-kira kelas menengah itu kemampuan dia bayar berapa jadi dapat subsidinya berapa nanti. Masa penghasilan UMR Rp 5 juta sama penghasilan Rp 30 juta naik KRL bayarnya sama, ya nggak lah," terangnya.

Ia mencontohkan program serupa sudah diterapkan di Jawa Tengah, di mana para pengguna transportasi umum untuk pelajar dan warga dengan disabilitas dikenakan tarif yang lebih murah daripada kelompok masyarakat lainnya.

"Contoh di Jawa Tengah, tarif subsidi Trans Jateng itu Rp 4.000, tapi untuk buruh dan pelajar hanya Rp 2.000, kita tunjukan KTP saja sudah dikasih. Kemudian Trans Semarang itu Rp 4.000 tapi untuk lansia, veteran, disabilitas, pelajar, mahasiswa itu bayarnya Rp 1.000. Nggak apa-apa, nggak ada yang protes-protes," ucap Djoko.

"Makanya menurutnya saya seharusnya ini (perubahan subsidi) nggak cuma untuk KRl saja, tapi bisa juga untuk TransJakarta," tambahnya.

Di sisi lain, Pengamat Transportasi Deddy Herlambang berpendapat rencana perubahan subsidi KRL menjadi berbasis NIK ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan sosial lainnya. Misalkan saja kecemburuan sosial antar pengguna layanan KRL.

"Takutnya nanti kalau sesuai NIK, takutnya PSO itu dicabut sehingga tarifnya berbeda-beda (karena ada yang dapat subsidi dan tidak), ada yang mahal ada yang murah ada mungkin tidak bayar, kan sesuai NIK-nya. Takutnya nanti akan ada kecemburuan sosial," katanya.

"Sekarang pun dengan tarif yang sama, mereka (pengguna KRL) sudah berantem, ribut, apalagi di kereta wanita mereka rebutan kursi-kursi, mereka merasa lebih berhak duduk karena sudah tua, mereka gendong anak, dan lain sebagainya. Apalagi nanti kalau tarifnya berbeda, nanti ada yang merasa lebih berhak karena mereka bayar lebih mahal, 'kalian itu saya subsidi', hal seperti itu pasti ada gesekan-gesekan," terang Deddy lagi.

Selain itu menurutnya dengan adanya perubahan model subsidi KRL ini, nantinya para pengguna layanan yang biasa bepergian untuk jarak dekat akan kembali menggunakan kendaraan pribadi. Tentu hal ini dapat meningkatkan volume kendaraan di jalan dan membuat kemacetan semakin parah.

"Kedua, kemungkinan yang jarak-jarak pendek, jarak 25 kilometer, jarak pendek itu nanti takutnya mereka akan kembali menggunakan kendaraan pribadinya. Kalau tarifnya (naik KRL) jadi mahal mereka akan kembali naik motornya lagi misalkan. Mungkin yang dari Tebet ke Tanah Abang atau Kemayoran, biasa naik KRL untuk kerja, nanti mereka malah menggunakan kendaraan pribadinya," jelas Deddy.

(fdl/fdl)

Read Entire Article